Memantaskan diri

Tak ada yang perlu disesali
tak ada yang perlu dikhawatirkan
jika kita selalu yakin padaNYa
yakin akan ketentuanNya

semuanya telah diataur olehNya
tinggal bagaimana kita untuk mendapatkannya

dengan cara baik, atau kah sebaliknya..

dan yakinlah akan janjiNya
yang baik untuk yang baik
dan sebaliknya yang buruk untuk yang buruk

Mari memantaskan diri..

Jenuh

adakalanya kita merasa jenuh
jenuh akan rutinitas
jenuh akan ujian
apa pun itu penyebabnya,
jangan jadikan hal ini sebagai alasan untuk kita meratapi diri
jangan jadikan alasan untuk menyesali nasib
yakinlah, semua yang terjadi mungkin yang terbaik untuk diri kita

ketika ujian begitu sangat sulit
mungkin ada yang salah pada diri ini
adakah kita lalai?
adakah kita lupa?
bagaimana sholat kita?
bagaimana tilawah kita?
sebelum jauh-jauh mencari solusi
yuk tengok kembali bagaimana diri kita

Istighar

malam semakin sepi, sunyi dan dingin
ada saat dimana kita harus menyendiri
merenungkan perjalanan yang selama ini di tempuh
ni’mat muhasabah, ni’mat menyesal.. subhanallah

kalau kata ulama-ulama terdahulu,
istighfar kita mungkin perlu di istighfari
taubat kita mungkin perlu di taubati

faghfirlana ya Rabb.. Faghfirlana ya Rabb

dakwah

dakwah, jalannya begitu panjang
jalannya begitu sulit
banyak onak dan duri, rintangan yang menghadang

ada yang bertahan hingga menggapai jannahNya
namun tak sedikit pula yang berguguran ditengah jalan

saat kesulitan dan ujian menghadang
mungkin ada rasa untuk berhenti
tetapi, apakah kita mau bersama mereka yang tertinggal?
berhenti dan selanjutnya menjadi penonton
tidak ikut berkontribusi

ya, memang seperti inilah dakwah
namun, dibalik kesulitan ada keindahan yang menanti
dan ketika kau memilih untuk bertahan
maka kau akan menyadari betapa indahnya jalan ini

”Ketahuilah, sesungguhn…

”Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, akan baiklah seluruh anggota tubuh. Dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah jantung (hati).” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599] dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma).

PRIORITAS AMALAN HATI ATAS AMALAN ANGGOTA BADAN

DI ANTARA amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan agama ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia. Ia lebih diutamakan daripada amalan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan, dengan beberapa alasan.

Pertama, karena sesungguhnya amalan yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh Allah SWT selama tidak disertai dengan amalan batin yang merupakan dasar bagi diterimanya amalan lahiriah itu, yaitu niat; sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw:

“Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat.” 32
Arti niat ini ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan dunia. Niat yang murni untuk Allah SWT. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah saw bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya.”33
Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan, Allah SWT berfirman,

“Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan kemudian dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya.” Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Maka dia akan menjadi milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya.” 34
Kedua, karena hati merupakan hakikat manusia, sekaligus menjadi poros kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya Nabi saw bersabda,

“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.”35
Nabi saw. menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh baginda,

“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.” 36
Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya amalan tersebut.

Al-Qur’an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak, dan perolehan surga di sana, hanya dapat dicapai oleh orang yang hatinya bersih dari kemusyrikan, kemunafikan dan penyakit-penyakit hati yang menghancurkan. Yaitu orang yang hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.

“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (as-Syu’ara’: 87-89)

“Dan didekatlah surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat.” (Qaf: 31-33)
Keselamatan dari kehinaan pada hari kiamat kelak hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Allah SWT dengan hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.

Taqwa kepada Allah –yang merupakan wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian, merupakan dasar perbuatan yang utama, kebajikan, kebaikan di dunia dan akhirat– pada hakikat dan intinya merupakan persoalan hati. Oleh karena itu Nabi saw bersabda, “Taqwa itu ada di sini,” sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali sambil memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya agar dapat dipahami oleh akal dan jiwa manusia.

Sehubungan dengan hal ini, al-Qur’an memberi isyarat bahwa ketaqwaan itu dilakukan oleh hati manusia:

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Semua tingkah laku dan perbuatan yang mulia, serta tingkatan amalan rabbaniyah yang menjadi perhatian para ahli suluk dan tasawuf, serta para penganjur pendidikan ruhaniah, merupakan perkara-perkara yang berkaitan dengan hati; seperti menjauhi dunia, memberi perhatian yang lebih kepada akhirat, keikhlasan kepada Allah, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada siksaan-Nya, mensyukuri nikmatNya, bersabar atas bencana, ridha terhadap ketentuan-Nya, selalu mengingat-Nya, mengawasi diri sendiri… dan lain-lain. Perkara-perkara ini merupakan inti dan ruh agama, sehingga barangsiapa yang tidak memiliki perhatian sama sekali terhadapnya maka dia akan merugi sendiri, dan juga rugi dari segi agamanya.

Siapa yang mensia-siakan umurnya, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa

Anas meriwayatkan dari Nabi saw,

“Tiga hal yang bila siapapun berada di dalamnya, maka dia dapat menemukan manisnya rasa iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; hendaknya ia mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” 37

“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada orangtua dan anaknya, serta manusia seluruhnya.” 38
Diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi saw, “Kapankah kiamat terjadi wahai Rasulullah?” Beliau balik bertanya: “Apakah yang telah engkau persiapkan?” Dia menjawab, “Aku tidak mempersiapkan banyak shalat dan puasa, serta shadaqah, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw kemudian bersabda, “Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.”39
Hadits ini dikuatkan oleh hadits Abu Musa bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi saw, “Ada seseorang yang mencintai kaum Muslimin, tetapi dia tidak termasuk mereka.” Nabi saw menjawab, “Seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai.”40
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah, serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah SWT; walaupun tidak disertai dengan tambahan shalat, puasa dan shadaqah.

Hal ini tidak lain adalah karena cinta yang murni merupakan salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT.

Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata,

“Aku cinta kepada orang-orang shaleh walaupun aku tidak termasuk golongan mereka.”

“Aku berharap hahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu, dan kebaikan) dari mereka.”

“Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu. ”
Cinta kepada Allah, benci karena Allah merupakan salah satu bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

“Barangsiapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka dia termasuk orang yang sempurna imannya.”41

“Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala’ karena Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah SWT.” 42
Oleh sebab itu, kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai’ yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.

Saya sendiri memperhatikan –dengan amat menyayangkan– bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya –Saya tidak berkata mereka semuanya– mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya, di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu’minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.

Saya tertarik dengan perkataan yang diucapkan oleh saudara kita, seorang dai’ Muslim, Dr. Hassan Hathout yang tinggal di Amerika, yang sangat tidak suka kepada sebagian saudara kita yang begitu ketat dan kaku dalam menerapkan hukum Islam yang berkaitan dengan daging halal yang telah disembelih menurut aturan syariat. Mereka begitu ketat meneliti daging-daging tersebut apakah ada kemungkinan bahwa daging tersebut tercampur dengan daging atau lemak babi, walaupun persentasenya hanya sebesar satu persen, atau seperseribunya; tetapi dalam masa yang sama dia tidak memperhatikan bahwa dia memakan bangkai saudaranya setiap hari beberapa kali (dengan fitnah dan mengumpat/ghibah), sehingga saudaranya dapat menjadi sasaran syubhat dan tuduhan, atau dia sendiri yang menciptakan tuduhan-tuduhan tersebut.

Catatan kaki:

32 Muttafaq Alaih dari Umar (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1245), hadits pertama yang dimuat dalam Shahih al-Bukhari

33 Diriwayatkan oleh Nasai dari Abu Umamah, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir(1856)

34 Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafal hadits yang pertama, sedangkan lafal yang lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah.

35 Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir, yang merupakan bagian daripada hadits, “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas” (Lihat al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1028)

36 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)

37 Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’wa al-Marjan, 26)

38 Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 27)

39 Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1693)

40 Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al- Marjan, 1694)

41 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Sunnah dari Abu Umamah (4681), dan dalam al-Jami’ as-Shaghir riwayat ini dinisbatkan kepada Dhiya’ (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 5965)

42 Diriwayatkan oleh al-Thayalisi, Hakim, dan Thabrani dalam al-Kabir, dan al-Awsath dari Ibn Mas’ud, Ahmad, dan Ibn Abi Syaibah dari Barra” dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn ,Abbas (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 2539)

FIQH PRIORITAS : Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta. Cetakan pertama, Rajab 1416H/Desember 1996M
media.isnet.org

Tarbiyah Ruhiyah

Image

urgensi tazkiyah semakin terasakan tatkala dakwah memasuki wilayah yang semakin luas dan terbuka, dimana peluang fitnah terbuka lebar, yait tatkala dakwah telah memasuki gedung parlemen, lembaga eksekutif dan kegiatan politik praktis ditengah masyarakat.seluruh pelaku dakwah telah diuji dengan berbagai ragam fitnah dalam bentuk yang semakin kompleks, dari yang paling halus hingga yang amat kasar.

Pelaku dakwah tidak boleh terbelokan orientasi dan cita-cita luhurnya hanya demi ambisi duniawi. oleh karenanya, membersihkan diri adalah sebuah keharusan dalam perjalanan dakwah, supaya orisinalitas niat, tujuan, pemikiran, dan gerakan senantiasa terjaga dalam menghadapi tantangan seperti apapun beratnya. Tazkiyah adalah kemestian, mengingat beratnya ujian yang dijumpai di alam keterbukaan dakwah dan pergerakan islam. tanpa tazkiyah dikhawatirkan terjadi penyimpangan yang membahayakan gerakan dakwah.

 

 

Dua Waktu Tidur Yang Dilarang Rasul

Tidur menjadi sesuatu yang esensi dalam kehidupan kita. Karena dengan tidur, kita menjadi segar kembali. Tubuh yang lelah, urat-urat yang mengerut, dan otot-otot yang dipakai beraktivitas seharian, bisa meremaja lagi dengan melakukan tidur.

Dalam Islam, semua perbuatan bisa menjadi ibadah. Begitu pula tidur, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam Al-Quran, Allah swt pun menyuruh kita untuk tidur. Namun, ternyata ada dua waktu tidur yang dianjurkan oleh Rasulullah untuk tidak dilakukan.

1. Tidur di Pagi Hari Setelah Shalat Shubuh

Dari Sakhr bin Wadi’ah Al-Ghamidi radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

”Ya Allah, berkahilah bagi ummatku pada pagi harinya” (HR. Abu dawud 3/517, Ibnu Majah 2/752, Ath-Thayalisi halaman 175, dan Ibnu Hibban 7/122 dengan sanad shahih).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata :

“Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang shalih – adalah tidur antara shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga sekali. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” (Madaarijus-Saalikiin 1/459).

2. Tidur Sebelum Shalat Isya’

Diriwayatkan dari Abu Barzah radlyallaahu ‘anhu : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membenci tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya” (HR. Bukhari 568 dan Muslim 647).

Mayoritas hadits-hadits Nabi menerangkan makruhnya tidur sebelum shalat isya’. Oleh sebab itu At-Tirmidzi (1/314) mengatakan : “Mayoritas ahli ilmu menyatakan makruh hukumnya tidur sebelum shalat isya’ dan mengobrol setelahnya. Dan sebagian ulama’ lainnya memberi keringanan dalam masalah ini. Abdullah bin Mubarak mengatakan : “Kebanyakan hadits-hadits Nabi melarangnya, sebagian ulama membolehkan tidur sebelum shalat isya’ khusus di bulan Ramadlan saja.”

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Baari (2/49) : “Di antara para ulama melihat adanya keringanan (yaitu) mengecualikan bila ada orang yang akan membangunkannya untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita katakan bahwa alasan larangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya waktu shalat.”

 

(berbagaisumber)

Warna Kehidupan

Ust. Anwar Anshori Mahdum

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS 2 : 155-157)

Hidup tidak akan berkesan jika hanya memiliki satu warna. Warna hidup kita ditentukan dari pilihan-pilihan dan bagaimana cara kita menyikapi hidup. Warna hidup selalu berpartisipasi dalam setiap episode. Hidup yang dipenuhi keceriaan pada suatu hari, maka akan datang kedukaan yang panjang pada hari yang lain. Terkadang kita bisa tertawa karena bahagia, kadang juga ada tangis karena kecewa. Kenikmatan yang sekejap akan datang kesedihan yang panjang.

Watak kehidupan tak pernah kita ketahui, karena itu adalah mutlak milik ALLAH yang menentukan. Kesulitan hidup yang kita rasakan sesungguhnya adalah cambuk yang paling mujarab, agar kita bergegas untuk mengubah keadaan. Karena penderitaan dan kesulitan inilah seringkali kita mampu menemukan jalan yang terbentang, dan akan terlihat kualitas hidup kita.

“Dan sesungguhnya Kami akan benar-benar menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik-buruknya) hal ikhwalmu.” (QS 47:31)

Sahabat, dalam kehidupan yang kita jalani akan sering menemukan empat kenyataan besar, yaitu :
1. Keadaan ketika sedang mendapat kenikmatan
2. Keadaan ketika kita sedang beristirahat dan menemukan problematika kehidupan, dan ini dirasakan oleh semua golongan manusia
3. Keadaan saat kita tertimpa musibah
4. Keadaan ketika kita sedang dalam ketaatan yang sempurna.

Seandainya kita bisa memilih, tentu kita akan memilih kebaikan dari pada keburukan, kita akan memilih kebahagiaan dari pada kesulitan. Tetapi lagi-lagi, warna hidup bukan kita yang menentukan. ALLAH yang Maha Tahu atas segala sesuatu. Dan setiap pilihan ALLAH pastilah yang terbaik untuk manusia.

Ketahuilah, setiap manusia pasti akan menemukan masalah dalam kehidupannya. masalah adalah bagian dari kehidupan yang tidak terelakkan. Perhatikan lagi ayat ALLAH :

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.” (QS 21 : 35)

Ayat ini seakan memberi isyarat bahwa permasalahan adalah sunatullah yang pasti datang dalam bentuk yang berbeda-beda pada setiap orang. Ada orang yang mengatakan ‘hidup adalah masalah, jika tidak ingin bermasalah, jangan hidup’. Ungkapan ini ada benarnya, bahwa kita akan terbebas dari masalah jika kita sudah terbujur kaku dan tidak ada lagi tarikan napas. Tetapi ini hanya ketika kematian terjadi, di mana permasalahan kehidupan dunia otomatis berakhir.

Namun tidak berarti permasalahan selesai pada titik itu, sebab setelah kehidupan dunia ada kehidupan lain yang harus kita hadapi, yaitu yaumul hisab (hari perhitungan). ‘Hidup yang dipenuhi keceriaan pada suatu hari, maka akan datang kedukaan yang panjang pada hari yang lain. Terkadang kita bisa tertawa karena bahagia, kadang juga ada tangis karena kecewa. Kenikmatan yang sekejap akan datang kesedihan yang panjang.’

 

Tarbiyah Dzatiyah

Judul Buku                  : Tarbiyah Dzatiyah

Judul Asli                    : At-Tarbiyah adz-dzatiyah ma’alim wa taujihat

Penulis                         : Abdullah bin Abdul Aziz Al-Aidan

Penerjemah               : Fadhli Bahri, Lc

Penerbit                      : An-Nadwah, Jakarta

Tahun                           : 2002

Ukuran Buku             : 96 ha1; 1,5 cm x 17,5 cm

ISBN                             : 979-3180-06-4

Edisi Cetakan            : Cetakan V, Jumadil Akhir 1425 H/ Agustus 2004 M

Perangkum                : pustaka hanan

Bab I.  Defenisi Tarbiyah Dzatiyah 

Tarbiyah dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan), yang diberikan orang

Muslim, atau Muslimah, kepada dirinya, untuk membentuk kepribadian islami yang

sempurna di seluruh sisinya; ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya, dan naik

tinggi ke tingakatan kesempurnaan sebagai manusia. Atau dengan kata lain, tarbiyah

dzatiyah adalah tarbiyah seseorang terhadap diri sendiri dengan dirinya sendiri. Dengan

defenisi seperti itu, tarbiyah dzatiyah setara dengan tarbiyah jama’iyah (kolektif) atau

forum-forum umum yang dikerjakan seseorang, atau ia geluti bersama orang lain, atau ia

ter-tarbiyah (terbina) di dalamnya bersama mereka.

Bab II.  Urgensi Tarbiyah Dzatiyah

  1. Menjaga diri mesti didulukan daripada menjaga orang lain Tarbiyah seorang muslim terhadap dirinya tidak lain adalah upaya melindunginya dari siksa Allah ta’ala dan neraka-Nya.“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)
  2.  Jika anda tidak men-tarbiyah (membina) diri anda, maka siapa yang men-tarbiyah anda? Siapa yang men-tarbiyah seseorang saat ia berusia lima belas tahun, atau dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun, atau lebih? Jika ia tidak men-tarbiyah diri sendiri, ia kehilangan waktu-waktu ketaatan dan moment-moment kebaikan
  3. Hisab kelak bersifat individual Hisab pada hari kiamat oleh Allah ta’ala kepada hamba-hambaNya bersifat individual, bukan bersifat kolektif. “Dan setiap mereka datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri” (QS. Maryam : 95)
  4. Tarbiyah dzatiyah itu lebih mampu mengadakan perubahan. Setiap orang pasti punya aib, atau kekurangan, atau melakukan kelalaian dan maksiat, baik maksiat kecil atau dosa. Jika masalahnya seperti itu, ia perlu memperbaiki seluruh sisi negatif pada dirinya sejak awal, sebelum sisi negatif tersebut membengkak. Dan seseorang tidak dapat meluruskan kesalahan-kesalahannya, atau memperbaiki aib-aibnya, dengan sempurna dan permanen, jika ia tidak melakukan upaya perbaikan ini, dengan tarbiyah dzatiyah, karena ia lebih tahu diri sendiri dan rahasianya.
  5. Tarbiyah dzatiyah adalah  sarana tsabat (tegar) dan istiqomah
  6. Sarana dakwah yang paling kuat Cara yang paling efektif untuk mendakwahi orang lain dan mendapatkan respon mereka ialah dengan menjadi qudwah (panutan) yang baik dan teladan istimewa, di aspek iman, ilmu, dan akhlaknya. Qudwah tinggi dan pengaruh kuat tersebut tidak dapat dibentuk oleh sekian khutbah dan ceramah saja. Namun, dibentuk oleh tarbiyah dzatiyah yang benar.
  7.  Cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada Bagaimana kiat memperbaiki realitas pahit yang dialami umat kita sekarang? Dengan ringkas, langkah tersebut dimulai dengan tarbiyah dzatiyah, yang dilakukan setiap orang dengan dirinya, dengan maksimal, syumul (universal), dan seimbang. Sebab, jika setiap individu baik, baik pula keluarga, lalu masyarakat menjadi baik. Begitulah, akhirnya pada akhirnya realitas umat menjadi baik secara total, sedikit demi sedikit
  8. Karena keistimewaan tarbiyah dzatiyah Urgensi tarbiyah dzatiyah lainnya ialah mudah diaplikasikan, sarana-sarananya banyak, dan ada terus pada orang muslim di setiap waktu, kondisi, dan tempat.

Bab III. Ketidakpedulian Kepada Tarbiyah Dzatiyah

  1. Minimnya ilmu
  2. Ketidakjelasan sasaran dan tujuan Orang yang merasa tujuannya dalam hidup ini tidak jelas berjalan bersama manusia di mana saja mereka berjalan. Maka tidak       mengherankan, kalau ia begitu lengket dengan seluruh sarana kehidupan yang semuanya dijadikan tujuan utama kehidupan sehingga ia tidak peduli dengan tarbiyah dirinya, pembersihan, perbaikan, dan pengarahan dirinya.
  3. Lengket dengan dunia
  4. Pemahaman yang salah tentang tarbiyah Ia berpendapat tarbiyah dzatiyah membuat dirinya terputus dari kehidupan dan manusia, serta terisolir dari mereka. Atau menyita sedkit waktu dan tenaganya. Atau merasa tidak membutuhkan tarbiyah dzatiyah karena telah menunaikan kewajiban agamanya yang paling penting sehingga tidak perlu lagi mengerjakan ibadah-ibadah lain yang tidak wajib.
  5.  Minimnya basis tarbiyah
  6.  Langkanya murobbi (pembina) Seseorang dalam hidupnya sangat membutuhkan taujih (pengarahan), tarbiyah, dan pengajaran, sejak masa kecilnya hingga ia dewasa dan tua, serta hingga ia meninggal dunia.
  7. Perasaan akan panjangnya angan-angan.Merasa bahwa umur masih panjang, dan masih banyak waktu yang tersedia untuk melakukan tarbiyah diri pada waktu yang tidak sibuk lagi sehingga menyebabkan ketidakpedulian akan tarbiyah dzatiyah

Bab IV. Sarana-Sarana Tarbiyah Dzatiyah

  1. Muhasabah

Melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya pada hari kiamat. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr: 18) Dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Orang cerdas (berakal) ialah orang yang menghisab dirinya dan berbuat untuk setelah kematian. Dan, orang yang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi) Panduan muhasabah :

  • Urgensi muhasabah secara rutin

Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan salah satu kiat muhasabah, “Hal yang paling bermanfaat bagi orang ialah ia duduk sesaat ketika hendak tidur. Ia lakukan muhasabah terhadap dirinya pada saat tersebut atas kerugian dan keuntungannya pada hari itu. Lalu, ia memperbaharui taubatnya dengan nasuhah kepada Allah, lantas tidur dalam keadaan bertaubat dan bertekad tidak mengerjakan dosa yang sama jika ia telah bangun. Itu ia kerjakan setiap malam. Jika ia meninggal pada malam tersebut, ia meninggal dalam keadaan taubat. Jika ia bangun, ia bangun dalam keadaan siap beramal, senang ajalnya ditunda, dan siap mengerjakan perbuatan-perbuatan yang belum ia kerjakan.”

  • Skala prioritas yang penting
    • Memuhasabahi kesehatan akidahnya, kebersihan tauhidnya dari syirik kecil dan tersembunyi.
    • Memuhasabahi pelaksanaan kewajiban-kewajiban, shalat lima waktu, berbakti kepada orang tua, menyambung hubungan kekerabatan, amar ma’ruf nahi munkar.
    • Memuhasabahi sejauh mana dirinya menjauhi hal-hal yang haram dan kemungkaran-kemungkaran.
    • Memuhasabahi sejauh mana melakukan ibadah-ibadah sunnah dan ketaatan lainnya
    • Jenis-jenis muhasabah

1. Muhasabah diri sebelum berbuat

2. Muhasabah diri setelah berbuat

Muhasabah diri atas ketaatan kepada Allah yang telah ia lalaikan, Muhasabah diri atas perbuatan yang lebih baik tidak ia kerjakan daripada ia kerjakan,  Muhasabah atas hal-hal mubah dan wajar

  • Muhasabah atas waktu

Muhasabah diri tentang alokasi waktunya, yang merupakan usia dan modalnya. Apa  ia telah gunakan waktunya dalam kebaikan, amal shalih, dan hal-hal bermanfaat bagi orang lain? Atau sebaliknya?

  • Ingat hisab besar

Allah akan menghisab hamba-hambaNya pada hari kiamat, dengan hisab yang cermat, dan bertanya pada mereka tentang apa saja yang telah mereka kerjakan perbuatan baik atau perbuatan buruk.

  1. Taubat dari segala dosa

Panduan :

  • Hakikat dosa

Dosa pada hakikatnya adalah tidak mengerjakan kewajiban-kewajiban syar’i, atau

melalaikannya, dalam bentuk tidak mengerjakannya dengan semestinya.

  • Syarat-syarat taubat

Taubat nasuhah (hakiki) ialah taubat jujur dan serius, yang menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya dan melindungi pelakunya dari dosa-dosa sebelumnya.

  • Semua dosa itu kesalahan
  • Hukuman di dunia

Dosa, yang pelakunya tidak bertaubat darinya, punya hukuman segera di dunia, sebelum di akhirat, kendati kadang kejadiannya agak tertunda. Dari sinilah, kecerdasan akal orang muslim ketika ia banyak bertaubat dan beristighfar di setiap waktu dan kondisi, dengan harapan Allah mengampuninya di dunia dan tidak menghukumnya di akhirat

  • Di antara trik jiwa kita

Makar setan terhadap manusia dan perjuangannya mati-matian untuk menipu manusia dengan segala cara menyebabkan manusia menunda-nunda taubat dan kembali kepada Allah, dengan banyak argumentasi.

Mencari ilmu dan memperluas wawasan

Caranya sangat banyak, antara lain menghadiri pertemuan-pertemuan yang mengkaji ilmu ilmiah dan tarbiyah, membaca buku, mengunjungi ulama, pemikir, peneliti, mendengar kaset ilmiah dan ceramah, dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam mencari ilmu antara lain, ikhlas dalam mencari ilmu, rajin dan meningkatkan pengetahuan, menerapkan ilmu yang didapatkan, dan tunaikan hak ilmu dengan berdakwah kepada orang lain.

Mengerjakan amalan-amalan iman

Antara lain :

  • Mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin
  • Meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah
  • Peduli dengan ibadah dzikir seperti membaca al-qu’ran dan berdzikir

Hal-hal penting antara lain :

  • Urgensi shalat lima waktu, muslim hendaknya tetap konsisten mengerjakan shalat lima waktu dan serius menunaikannya secara berjama’ah di masjid, sesuai dengan rukun-rukun, kewajiban, dan sunnahnya pada waktunya sembari menjauhi kesalahan yang biasa dilakukan.
  • Antara ibadah dan adat istiadat, menjadikan ibadah tidak sekedar rutinitas fisik tanpa ruh, hendaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati dan jiwa kita
  • Ilmu pengetahuan tidak cukup, ilmu saja tidak cukup jika tidak ditunaikan dalam amal perbuatan
  • Kita tidak lupa dzikir kepada Allah
  • Memanfaatkan sebaik mungkin saat-saat rajin
  • Memanfaatkan sebaik mungkin waktu-waktu dan tempat-tempat mulia
  • Urgensi tawazun (seimbang), melakukan ibadah dengan seimbang, tidak menelantarkan ibadah yang satu hanya karena melakukan ibadah yang lain

Memperhatikan aspek akhlak (moral)

Tarbiyah dzatiyah dalam aspek moral antara lain :

  •  Sabar
  • Membersihkan hati dari akhlak tercela
  • Meningkatkan kualitas akhlak
  • Bergaul dengan orang-orang yang berakhlak mulia
  • Memperhatikan etika-etika umum

Terlibat dalam aktivitas dakwah

  • Merasakan kewajiban dakwah

“Katakan, ‘Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata’.” (QS. Yusuf : 108)

  • Menggunakan setiap kesempatan untuk berdakwah
  • Terus-menerus dan tidak berhenti di tengah jalan
  • Pintu-pintu dakwah itu banyak, cara berdakwah itu tidak hanya berceramah saja, melainkan senyum, perkataan yang baik, dan lain sebagainya itu merupakandakwah
  • Kerjasama dengan pihak lain atau dengan kata lain beramal jama’i’

Mujahadah (jihad/bersungguh-sungguh)

  • Sabar adalah bekal mujahadah
  • Sumber keinginan, mujahadah dan keinginan datang dari jiwa, ketekunan, dan membayar harganya sesuai dengan semestinya
  •  Bertahap dalam melakukan mujahadah
  • Jadilah anda orang yang tidak lalai
  • Siapa yang mengambil manfaat dari mujahadah?, anda adalah pihak pertama dan terakhir yang mengambil manfaat jika bermujahadah

Berdoa dengan jujur kepada Allah.Doa adalah permintaan seorang hamba kepada Allah, pengakuan ketidakberdayaan dan kemiskinan dirinya, pernyataan tidak punya daya dan kekuatan, serta penegasan tentang daya, kekuatan, kodrat, dan nikmat Allah Rasulullah saw bersabda : “Iman pasti lusuh di hati salah seorang dari kalian, sebagaimana pakaian itu lusuh. Karena itu, mintalah Allah memperbaharui iman di hati kalian.” (diriwayatkan Ath-Thabrani dan sanadnya hasan).

Arahan-arahan dalam doa :

  • Kebutuhan kita kepada doa
  • Waktu-waktu dan tempat-tempat terkabulnya doa
  • Syarat-syarat doa antara lain, makan makanan yang halal, minta dengan sungguh-sungguh, menampakkan kelemahan dan kepasrahan kepada Allah, menghadirkan hati, bertaubat dari dosa, cinta dan takut kepadaNya
  • Jangan minta doa dikabulkan dengan segera
  • Bermanfaatlah untuk anda dan orang lain

Bab V. Buah Tarbiyah Dzatiyah

1. Mendapatkan keridhaan Allah dan surgaNya

2. Kebahagiaan dan ketentraman

3. Dicintai dan diterima Allah

4. Sukses

5. Terjaga dari keburukan dan hal-hal tidak mengenakkan

6. Keberkahan waktu dan harta

7. Sabar atas penderitaan dan semua kondisi

8. Jiwa merasa aman